Rabu, 05 November 2014

Dialog Diri


Sering kali memaafkan tidak lebih mudah dari mengingat dan merasakan lagi rasa sakit dan kecewa yang muncul sedemikian rupa dan tiba-tiba. Cukup banyak waktu yang harus digadaikan untuk sekedar merasa sedikit lebih baik. Dan pihak yang seharusnya bertanggungjawab atas perasaan merugikan ini, belum tentu merasakan sakit yang sama dalam waktu sepanjang itu.

Bagi sebagian kita, memaafkan orang yang bahkan tidak merasa dirinya bersalah atau merugikan kita, bukan perkara mudah. Mungkin ia tak pernah menyadari kesalahannya. Mungkin juga ia hanya ingin lari dari perasaan bersalah. Lalu apa ruginya jika kita tetap pada kehormatan diri untuk memaafkannya? Hal tersulit yang masih juga saya cari jawabannya.

1 tahun, 2 tahun dan sekian tahun berlalu ternyata belum cukup untuk menghilangkan ingatan dan memori pahit yang dulu pernah membuat kita begitu lebur. Orang itu masih ada. Masih berdiri dan menghadapi takdirnya. Dan masih bisa tersenyum lebar tanpa menyadari pernah ada hati manusia yang dibuatnya kecewa.

Rasa percaya lah yang kemudian menjadi korbannya. Saya masih bertanya-tanya, apakah manusia hanya punya satu kali waktu untuk mampu percaya? Ketika rasa itu sirna, tak mampukah ia hadir kembali tanpa mengusik sebab akibat sebelumnya. Waktu bahkan belum mampu menjawab pertanyaan saya. Tapi rasa percaya tidak muncul tiba-tiba. Sebelum ia tumbuh pun kita telah berusaha.

Saya betul-betul tidak sempurna. Mencintai adalah sebuah keberanian dan pengorbanan. Hingga untuk kesekian kalinya saya tak berani lagi berkorban.

Maka dialah waktu yang bersahabat dengan mulianya rasa ikhlas. Ketika keduanya bertemu, maka kita telah mampu menyerahkan segala perasaan mengganggu ini kepada Nya. Sang Maha pemilik hati setiap manusia. Di satu titik, pada hal-hal di luar kuasa saya, kekhawatiran dan rasa kecewa ini akan sembuh dengan izin-Nya.

Amin.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar